oleh Felix Dass
Menulis
tentang Koil ternyata menjadi salah satu beban besar untuk saya. Ketika harus
menulis tulisan pengantar untuk album tribute Kami Akan Terbakar Juga,
persoalan ini juga mampir. Begitu juga ketika harus menuliskan tulisan ini.
Padahal idenya sudah bermain-main di kepala sejak lama.
Mungkin
juga karena saya cinta Koil, kendati kemudian hanya merasa perlu untuk
membatasinya di wilayah musik saja. Berangkat dari wilayah musik itulah, saya
kemudian menemukan sebuah fakta yang mungkin tidak disadari oleh orang banyak.
Seperti
kita ketahui bersama bahwa Koil sudah merilis tiga buah album penuh dalam
interval waktu yang sangat lama; Self Titled tahun 1996, Megaloblast tahun
2001, dan Black Light Shines On tahun 2007. Yang Demons from Nowhere tidak
dihitung deh.
Interval
yang diperlukan untuk selesainya masing-masing album itu memang terbayar dengan
hasilnya. Buat saya, tidak ada satupun album Koil yang masuk kategori jelek.
Tentu saja, karena saya penggemar berat mereka. Tapi sepenggemar-penggemarnya,
saya selalu betah memutar masing-masing album Koil dari depan sampai belakang.
Tentu saja dari segi karya, jika efek yang bisa ditimbulkan ke orang seperti
itu, sudah pasti karya itu akan menemui konsensus bersama bahwa mereka adalah kesatuan
yang bagus dan sayang sekali untuk terpinggirkan.
Banyak
juga orang melabeli Koil sebagai salah satu band independen yang perlu dijadikan
contoh. Alasannya apa?
Yang
klise-klise model ini pasti tersembul:
a.
Koil punya sikap yang layak diteladani, idealisme mereka dipegang teguh
b.
Lagu-lagu Koil punya tempat dan menjadi suara hati saya
c.
Koil keren banget sih?
d.
JAV adalah vokalis paling ganteng yang dimiliki negeri ini
e.
Koil tuh simbol pemberontakan
f.
Dll
Dari
beberapa alasan di atas, ada juga yang mampir secara personal di dalam diri
saya. Seperti sudah disinggung di atas bahwa saya adalah penggemar.
Tapi,
ada satu yang sebaiknya kita sadari bersama mulai dari sekarang. Bahwa Koil
juga merupakan band yang sangat kompromis.
Ceritanya
dimulai beberapa waktu yang lalu, ketika saya menemukan cd Black Light Shines
On repackage di Aquarius Mahakam. Sekedar informasi untuk kamu yang tidak
tinggal di Jakarta, toko ini adalah salah satu toko rekaman paling penting yang
ada di kota ini. Toko ini juga membuka pintunya lebar-lebar untuk
rilisan-rilisan independen yang tentunya memenuhi syarat berjualan –punya pita
cukai misalnya—.
Yang
saya temukan adalah Black Light Shines On yang dirilis oleh Nagaswara, produsen
sejuta band. Kabar bahwa Koil menjalin kerja sama dengan Nagaswara malah
sebenarnya sudah seliweran beberapa bulan dalam hidup saya. Jadi sebenarnya
tidak terlalu kaget.
Kalau
ditilik ke belakang, ini sebenarnya bukan merupakan sebuah hal yang baru dalam
kehidupan Koil.
Album
Self Titled dirilis oleh Target Q milik Seno M. Hardjo yang sekarang aktif di
AMI. Dengan gaya ala major label, sudah pasti barang itu terdistribusikan di
toko besar di banyak kota. Megaloblast dirilis ulang oleh Alfa Records dengan
kover hitam berlainan dengan aslinya. Sudah pasti juga ada di toko besar di
puluhan kota. Yang sekarang dengan Nagaswara? Wah, jangan ditanya lagi.
Itu
menunjukan bahwa sebenarnya band ini mampu melintasi batas pengkotak-kotakan
ala Indonesia yang kadang suka seenaknya dengan menghadirkan sebuah fakta yang
menguntungkan untuk banyak orang.
Tentu
saja, bandnya akan dibayar mahal untuk merilis ulang atau melisensi karya
mereka. Tentu juga, penggemar secara geografis akan semakin luas. Jadinya,
orang yang jauh dengan Bandung atau Jakarta bisa dengan mudah mendapatkan
rekaman Koil.
Koil
selalu bisa memesona dengan hal-hal seperti ini. Bahwa mereka sebenarnya
sangat-sangat pintar untuk mensiasati sesuatu keterbatasan. Dan saya belajar
banyak dari mereka.
Oh,
ada satu lagi, dalam sebuah rilisan label besar album mereka, Koil selalu
memiliki empat orang personil. Haha.
Hal-hal
seperti ini, semakin membuat saya cinta sama musik band ini. Kamu? (pelukislangit)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar