Senin, 18 November 2013

Belajar Lagi dari Koil

oleh Felix Dass

Menulis tentang Koil ternyata menjadi salah satu beban besar untuk saya. Ketika harus menulis tulisan pengantar untuk album tribute Kami Akan Terbakar Juga, persoalan ini juga mampir. Begitu juga ketika harus menuliskan tulisan ini. Padahal idenya sudah bermain-main di kepala sejak lama.

Mungkin juga karena saya cinta Koil, kendati kemudian hanya merasa perlu untuk membatasinya di wilayah musik saja. Berangkat dari wilayah musik itulah, saya kemudian menemukan sebuah fakta yang mungkin tidak disadari oleh orang banyak.

Seperti kita ketahui bersama bahwa Koil sudah merilis tiga buah album penuh dalam interval waktu yang sangat lama; Self Titled tahun 1996, Megaloblast tahun 2001, dan Black Light Shines On tahun 2007. Yang Demons from Nowhere tidak dihitung deh.

Interval yang diperlukan untuk selesainya masing-masing album itu memang terbayar dengan hasilnya. Buat saya, tidak ada satupun album Koil yang masuk kategori jelek. Tentu saja, karena saya penggemar berat mereka. Tapi sepenggemar-penggemarnya, saya selalu betah memutar masing-masing album Koil dari depan sampai belakang. Tentu saja dari segi karya, jika efek yang bisa ditimbulkan ke orang seperti itu, sudah pasti karya itu akan menemui konsensus bersama bahwa mereka adalah kesatuan yang bagus dan sayang sekali untuk terpinggirkan.

Banyak juga orang melabeli Koil sebagai salah satu band independen yang perlu dijadikan contoh. Alasannya apa?

Yang klise-klise model ini pasti tersembul:
a. Koil punya sikap yang layak diteladani, idealisme mereka dipegang teguh
b. Lagu-lagu Koil punya tempat dan menjadi suara hati saya
c. Koil keren banget sih?
d. JAV adalah vokalis paling ganteng yang dimiliki negeri ini
e. Koil tuh simbol pemberontakan
f. Dll

Dari beberapa alasan di atas, ada juga yang mampir secara personal di dalam diri saya. Seperti sudah disinggung di atas bahwa saya adalah penggemar.

Tapi, ada satu yang sebaiknya kita sadari bersama mulai dari sekarang. Bahwa Koil juga merupakan band yang sangat kompromis.

Ceritanya dimulai beberapa waktu yang lalu, ketika saya menemukan cd Black Light Shines On repackage di Aquarius Mahakam. Sekedar informasi untuk kamu yang tidak tinggal di Jakarta, toko ini adalah salah satu toko rekaman paling penting yang ada di kota ini. Toko ini juga membuka pintunya lebar-lebar untuk rilisan-rilisan independen yang tentunya memenuhi syarat berjualan –punya pita cukai misalnya—.

Yang saya temukan adalah Black Light Shines On yang dirilis oleh Nagaswara, produsen sejuta band. Kabar bahwa Koil menjalin kerja sama dengan Nagaswara malah sebenarnya sudah seliweran beberapa bulan dalam hidup saya. Jadi sebenarnya tidak terlalu kaget.

Kalau ditilik ke belakang, ini sebenarnya bukan merupakan sebuah hal yang baru dalam kehidupan Koil.

Album Self Titled dirilis oleh Target Q milik Seno M. Hardjo yang sekarang aktif di AMI. Dengan gaya ala major label, sudah pasti barang itu terdistribusikan di toko besar di banyak kota. Megaloblast dirilis ulang oleh Alfa Records dengan kover hitam berlainan dengan aslinya. Sudah pasti juga ada di toko besar di puluhan kota. Yang sekarang dengan Nagaswara? Wah, jangan ditanya lagi.

Itu menunjukan bahwa sebenarnya band ini mampu melintasi batas pengkotak-kotakan ala Indonesia yang kadang suka seenaknya dengan menghadirkan sebuah fakta yang menguntungkan untuk banyak orang.

Tentu saja, bandnya akan dibayar mahal untuk merilis ulang atau melisensi karya mereka. Tentu juga, penggemar secara geografis akan semakin luas. Jadinya, orang yang jauh dengan Bandung atau Jakarta bisa dengan mudah mendapatkan rekaman Koil.

Koil selalu bisa memesona dengan hal-hal seperti ini. Bahwa mereka sebenarnya sangat-sangat pintar untuk mensiasati sesuatu keterbatasan. Dan saya belajar banyak dari mereka.

Oh, ada satu lagi, dalam sebuah rilisan label besar album mereka, Koil selalu memiliki empat orang personil. Haha.


Hal-hal seperti ini, semakin membuat saya cinta sama musik band ini. Kamu? (pelukislangit)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar