Rabu, 29 Desember 2021

Perayaan 25 Tahun Album Depresif KOIL

 

Ditulis oleh Rendy Asra.


Otong pernah berkata, jika dia melihat keren tidaknya cover album dalam memutuskan membeli sebuah rilisan. Jika covernya bagus menurutnya, materinya jarang gagal.

Bagi sebagian lain ada juga yang tidak peduli dengan cover maupun lirik, dan lebih menyukai musiknya. Yang ketiga adalah golongan saya: para pemuja lirik lagu. Seperti yang kita ketahui, band rock 80 hingga awal 90an kerap bermasalah dengan logika dan pemilihan diksi untuk bisa melengkapi sebuah lagu bagus.

Nah untuk kasus Koil, lirik mereka di selftitled ini saya beri nilai 9/10. Berlebihan? bisa jadi tidak, karena buat saya album pertama Koil adalah Antologi Puisi yang untungnya diiringi oleh musik bagus. 

Sensasi yang sama terjadi saat saya mendengarkan album Kantata Takwa untuk pertama kalinya, sangat indah sekaligus mencekam.

Album selftitled ini pertama kali saya lihat saat diulas di Majalah HAI. Review positif HAI untuk album inilah yang 100% memantik minat saya. Apalagi melihat sampul album dengan FONT KUNING KOILnya. Sangat “mengganggu” mata saya. 

Singkat cerita, setelah berkeliling di toko kaset Balikpapan, tidak ada satu pun yang menjual kaset mereka lagi. Entah distribusinya yang payah, atau toko kaset yang menolak untuk menyimpan stok kaset ini cukup banyak. Alhasil, ketika liburan ke Samarinda saya niatkan sekaligus untuk berkeliling ke toko-toko kaset untuk membeli album ini. 

Dasar beruntung, baru saja di toko pertama yang saya datangi, yaitu di Citra Niaga, begitu saya tanyakan, mereka langsung mengambil kaset yang saya minta. Walau pun kaset ini tidak didisplay dan berada di etalase dalam (menambah analisa gembel saya bahwa album ini tidak laku dan siap retur)

Malamnya, saya baru sempat mendengarkan album ini di tape compo sepupu saya secara penuh, walau pun sampul kasetnya sudah saya buka dan baca-baca semenjak siang. Lirik lagunya menggugah saya, bagus sekali. Lagu Murka hingga Pudar menjadi soundtrack masa SMA hingga 25 tahun perayaan album ini .


Berikut ulasan track demi tracknya:


MURKA

Dibuka oleh suara gemericik air yang mungkin direkam manual, dengnan lirik ajaib: 'dinginnya kutub utara tak sedingin pisau membara' dan 'Aku Hiu bersimbah darah',

Murka adalah lagu yang pantas menjadi pembuka selftitle ini. Dengan ketukan drum antik dan bernyanyi Bang Leon, Murka cukup menggambarkan keresahan album ini secara keseluruhan. Mari berharap suatu saat KOIL bermurah hati membawakan lagu ini dengan versi aslinya. “NONSENS, Lah ..!!!”

SENYAWA MESIN

Sebelum bermain dengan tema santet, di 1996 KOIL membuat lagu putus cinta dengan sangat macho tanpa harus menjual air mata. Lagu yang aslinya berjudul 1986 (Tidewater), DENGARKAN mendalam saat Otong memandu keriaan depresif massal: "Ternyata api pun ingkari janji tuk  sehidup semati... Aku kecewa.”

MATAHARI (DENGEKEUN AING)

Selanjutnya adalah yang kelak dikenal juga sebagai Matahari. Pada kaset demo mereka sempat diberi judul Bandung Panas. Dengekeun Aing adalah lagu kebangsaan para pengangguran yang baru lulus SMA. Terlalu miskin untuk meneruskan kuliah, dan terlalu malas untuk mencari kerja. 

Kian relevan di situasi terkini di kondisi makin minusnya kepekaan sosial, rasa ingin didengar menghantui jiwa-jiwa kesepian di era dimana semua mata tertunduk menatap layar HP dan enggan tertinggal trend di media sosial. Kesepian yang sama hadir 20 tahunan lebih awal di track ketiga mereka. Di sini KOIL Menghardik matahari, mengutuk rasa sepi yang bising, dan dieksekusi dengan sebuah Video Klip Brutal yang pernah tayang secara regular di ANTV dan bahkan personil KOIL konon tidak ada yang punya filenya. Menjadi pertanyaan kenapa Boedi Soesatio mengamini keinginan KOIL untuk memilih lagu ini untuk dibuatkan video klipnya.

  LORONG

Lagu instrumental dengan chord yang seharusnya berakhir membosankan. Tapi coba kamu dengarkan lagu ini pukul 3 dini hari menggunakan headphone sambil menutup mata. Luar biasa indah.

WAKTU YANG BERHENTI

Lagu terbaik KOIL dan masih menjadi favorit saya sampai hari ini: ada di track 5 berjudul Waktu yang Berhenti . Sebelum dunia marak oleh kopi senja dan kontemplasi. Otong sudah memberikan saya 1 lagu pengantar selfhealing terbaik .

Dan kulihat awan warna perunggu / diam di sini kududuk menunggu / memberi hati untuk diam sendiri / redam amarah dan bekukan resah / api telah lama terbakar /aku berpijar / bergetar menahan luka / memecah malam gulita / dan kulihat awan merah membatu / seolah mereka hentikan waktu / pernah kau rasa tidak berdaya menyerah begitu saja / tanpa harapan tanpa ada jalan / penyesalan / bergetar menahan luka / memecah malam gulita / nyalakan lilin penentram hati / akan kutulis semua di sini / delapan tahun tidaklah singkat untuk merenung / untuk menunggu waktu berlalu / detak jantungku diam membisu / bergetar menahan luka / berpijar api di dada / aku menunggu waktu yang berhenti

KARAM

Selftitle album ini liriknya dibuka oleh kata KARAM dan bukan kebetulan tersemat lagu berjudul KARAM di track selanjutnya. Apakah ini lagu soal patah hati (lagi?) Daripada menghindar, si AKU di lagu ini memilih untuk menghadapi takdirnya: mungkin garis ini yang / harus kuarungi / Tertawalah derita, nyawa tinggalkan raga.. Tertawalah derita.. / KARAM!!

BURUNG HANTU 

Kata 'melayang' jika dieksekusi band lain dalam lirik lagu, biasanya berakhir klise dan lebih mirip puisi yang ditulis anak kelas 4 SD dalam lomba antar kelas dalam menyambut Tujuhbelasan. Tapi untuk kasus Burung Hantu, kata 'melayang' tak pernah diperlakukan sekeren ini dan menjadi satu kesatuan yang melengkapi lirik lagu yang memang bagus itu. Sebuh lagu anti perbudakan dan rutinitas.

LAGU HUJAN

Di suatu panggung, Kak Otz pernah berkata, jika mereka dulu memajukan LAGU HUJAN sebagai single gacoan mungkin takdir KOIL akan Selaris NOAH. Lagu yang dimainkan dengan bass sebagai instrumen utama dengan sample suara tonggeret yang menjadi latar lagu. 

Ini adalah lagu favorit semua orang di album pertama KOIL. Dengan tema sederhana, si aku terpaksa berteduh agar tidak kehujanan, membakar rokok atau kopi panas dan melamun mengingat masa lalu sambil menunggu hujan reda. Lalu menyadari banyak harapannya yang belum terwujud, tapi dieksekusi dengan lirik paripurna dan kalimat penutup penuh motivasi yang bahkan belum terpikir oleh otak Mario Teguh: "Walau pun lama pasti reda juga, tangga pelangi akan segera tiba”

KARAT

Lagu terkencang penuh rasa frustrasi. Pernah berangan-angan Outro panjang KARAT ini diisi solo gitar Pay Burman .

PUDAR

Lagu penutup yang serupa sesi pendinginan setelah pacu jantung di Karam. PUDAR bercerita tentang dunia lain ala Otong. Notasi lagu yang cocok mengiringi adegan penutup film horror Joko Anwar selanjutnya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar